Wednesday, December 15, 2010

JURNAL :
KONFLIK DALAM ORGANISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK

Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna-makna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.

Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.

Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang

dalam Struktur Organisasi Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:

1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi.

2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi

3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain.

Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu KOMUNIKASI, STRUKTUR, VARIABEL PRIBADI.

Konflik dan Kaitannya dengan Pelayanan Publik
Manajemen pelayanan publik dalam organisasi publik (pemerintah) umumnya memberikan layanan berupa jasa yang memiliki karakteristik: tidak nyata (intangible), tidak terpisahkan (inseparable), tidak dapatdisimpan (perishable), dan bervariasi (variable). Ciri-ciri seperti ini sering menyulitkan manajemen (umumnya para birokrat) untuk menentukan indikator kualitas pelayanan yang diberikan. Artinya, apakah pelayanan kepada publik yang diberikan selama ini telah memuaskan mereka atau
tidak. Hal ini berbeda dengan pelayanan pada organisasi bisnis yang mentransaksikan barang yang secara fisik nampak, dan konsumen dapat secara langsung menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya. Karena itu dalam organisasi publik, kualitas layanan amat ditentukan oleh interaksi antara pemberi layanan (aparatur pemerintah) dan pengguna layanan (masyarakat). Aparatur memiliki tingkatan kinerja tertentu dalam memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki ekspektasi tentang
kualitas layanan yang diinginkan. Kualitas layanan, dengan demikian, didefinisikan sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja aktual pemberi layanan. Dari pengertian ini terdapat dua unsur utama dalam kualitas layanan, yaitu expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service (layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan
sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas layanan yang diterima lebih rendah, maka akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan (Gronroos, et al., 1997).
Setiap pimpinan suatu institusi publik menghendaki agar tercapai suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan secara memuaskan.

Menurut Kotler (1997), terdapat lima faktor determinan yang
menentukan kualitas layanan yang diberikan, yaitu:
a) kehandalan, kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan tepat pada waktunya;
b) responsif, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat;
c) keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan pada diri
pelanggan melalui perilaku ramah dan sopan;
d) empati, kepedulian atau kemampuan untuk memberikan perhatian
pribadi pada pelanggan;
e) berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu kemampuan dalam
menyedian peralatan, personil, dan media komunikasi yang dibutuhkan pelanggan.

Dalam menganalisis keterkaitan antara konflik dalam organisasi
dan kualitas pelayanan publik kita menganggap bahwa service excellence atau kualitas pelayanan publik yang unggul merupakan suatu tingkatan kinerja yang “tinggi” yang diharapkan dicapai dalam interaksi antara aparatur dengan publik. Hal ini dapat dicapai jika sejumlah factor determinan yang telah disebut di atas dapat dipenuhi dalam proses interaksi itu.